Thursday 20 April 2017

Balada Ojek Online di Indonesia

Balada Ojek Online di Indonesia

Foto: CNN Indonesia/
JakartaCNN Indonesia -- Transportasi sudah menjadi salah satu kebutuhan masyarakat. Salah satu jenis transportasi yang mengakar di masyarakat adalah ojek. Tapi untuk memesan ojek butuh usaha dan tarifnya tak ada yang mengatur.

Situasi ini melahirkan sistem pemesanan ojek yang memanfaatkan perangkat bergerak (mobile) berbasis sistem operasi macam Android dan iOS. Sistem pemesanan ini disukai banyak pengguna jasa transportasi di Indonesia. Model transportasi punya istilah keren, yaitu ride-sharing. 

Akan tetapi kejadian yang terjadi di lapangan, para transportasi konvensional macam ojek pangkalan dan angkutan perkotaan (Angkot) masih belum bisa menerima kehadiran pendatang baru itu. Persinggungan dan perselisihan kerap terjadi. Pemerintah pun diminta menetapkan regulasi terhadap penyedia jasa berbasis online itu. 

Regulasi Ride-sharing

Memang saatnya pemerintah mengintervensi layanan ride-sharing macam Go-Jek, GrabBike, atau Uber, yang tengah marak. Menurut saya, para pemain di jasa transportasi berbasis online ini sudah berhasil menjalankan tugasnya yakni memangkas model bisnis di transportasi dan memberikan efisiensi baik bagi pengguna atau pelaku usaha. 

Melihat kondisi infrastruktur transportasi di Indonesia, rasanya permintaan layanan ride-sharing akan terus naik walau secara operasional mereka masih merugi. 

Saat ini kondisi pemain ride-sharing memang dalam posisi buntung. Bahkan, sekelas Uber saja mengaku belum berani menarik keuntungan dari mitra pengemudi dan fokus memperbesar ekosistem. 

Belajar dari Gojek, di mana nantinya para pemain mulai masuk dalam tahap mencari laba secara operasional, jika tak ada regulasi yang jelas mulai dari model bisnis, keamanan, dan teknis lainnya, hukum rimba akan berlanjut. Melihat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih berpegang pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Artinya, ride-sharing belum mendapatkan tempat atau belum jelas payung hukumnya.

Solusi yang bisa diharapkan adalah pada roadmap e-commerce yang masih molor penyelesaiannya. Mumpung masih molor, ride-sharing selayaknya mendapat tempat pada roadmap tersebut, karena jika dilihat dari proses transaksi pantas dikategorikan sebagai kegiatan e-commerce. 

Minimal, pada roadmap e-Commerce dimasukkan tentang Service Level Agreement (SLA) antara pemilik aplikasi dengan pengguna dan mitranya untuk ride-sharing. 

Selanjutnya, kita masyarakat awam mengharapkan adanya komunikasi yang konkret antara Menkominfo Rudiantara dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan untuk membahas aturan yang jelas tentang bisnis ride-sharing di Indonesia. Dalam aturan bisa diperjelas mulai dari jenis moda yang layak untuk ride-sharing hingga model bisnis. 

Bahkan jika ingin ekstrem layaknya di telekomunikasi, pentarifan dasar pun diatur, sehingga tak ada banting tarif antar pemain agar bisnisnya sustainable.
  
Meski dianggap memberikan dampak yang positif oleh kebanyakan penggunanya, kenyataannya layanan ride–sharing ini juga kerap mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak, baik itu pemerintah ataupun para pelaku sistem konvensional. Saat ini, yang sedang hangat menjadi perbincangan adalah gesekan yang terjadi antara layanan ojek profesional (Go-Jek dan GrabBike) dengan ojek pangkalan. 

Yang jelas, layanan ride-sharing ini masih mendapatkan 'dukungan' pemerintah meski jelas-jelas berstastus ilegal, jika berpatokan pada aturan yang berlaku. Sedangkan yang memanfaatkan roda empat, selalu saja dikejar-kejar pemerintah untuk meminta kejelasan layanan hingga status badan hukum mereka.

Jika mau melihat lebih seksama, alasannya sederhana. Kehadiran mereka telah membuat resah para pemain sistem lama yang sudah mengakar dan regulasi yang ada masih belum bisa mengakomodasi layanan sejenis ride-sharing ini. Toh pada kenyataannya Menkominfo Rudiantara pun sempat menekankan bahwa perlu ada aturan yang mengatur layanan ride-sharing ini. (ded/ded)

No comments:

Post a Comment