Wednesday 12 August 2015

Kebijakan Sosial yang Transformatif oleh: Victoria Fanggidae



    Elysium, sebuah film futuristik produksi tahun 2013, menggambarkan bagaimana kegagalan kebijakan sosial ekonomi pada akhirnya membelah umat manusia menjadi dua.

    Di film itu, si kaya—kebanyakan berkulit terang—tinggal di habitat artifisial ruang angkasa berfasilitas mewah dengan sopan santun tinggi. Sementara si miskin, kebanyakan kulit berwarna, hidup di bumi yang kumuh, bak penampungan sampah raksasa dengan hukum rimbanya.

    Laporan lembaga kemanusiaan Oxfam awal tahun ini, Wealth: Having it all and wanting more, memprediksi tren kesenjangan akan terus meningkat bila tidak ada intervensi pemerintah. Satu persen penduduk bumi akan menguasai 99 persen kekayaan, sebaliknya, 99 persen penduduk hanya akan memiliki 1 persen kekayaan pada tahun depan. Jika tren kesenjangan ini dibiarkan, mimpi buruk katastrofi imajiner Elysium bisa menjadi nyata.

    Spicker (2006) menjelaskan, kesenjangan biasanya termanifestasi dalam pola kesenjangan hierarkis atau vertikal, yaitu kesenjangan pendapatan dan kekayaan, dan pola kesenjangan horizontal yang divisif. Pola kesenjangan itu karena perbedaan kelompok didasarkan atas kelas, ras, etnik, warna kulit, jender, umur, ataupun letak geografis.

    Di Indonesia, kesenjangan vertikal ataupun horizontal masih jauh dari pembangunan yang inklusif. Kesenjangan vertikal meningkat, Rasio Gini mencapai 0,41 pada 2013. Bahkan, 0,43 di perkotaan, tertinggi dalam sejarah. Kekayaan 40 orang berpendapatan tertinggi setara 10 persen produk domestik bruto (PDB). Dalam era pertumbuhan ekonomi, kelompok pendapatan tertinggilah yang tumbuh paling cepat, kelompok menengah stagnan, dan yang paling bawah bahkan mengalami kontraksi.

    Kesenjangan horizontal pun tak berubah sejak prakemerdekaan dalam banyak hal. Pada masa penjajahan, kesenjangan antara inlander, etnik Timur Jauh, dan penguasa kolonial serta turunan Eropa mengganggu rasa keadilan. Inlander minim akses, bahkan tidak ada akses sama sekali pada pendidikan, kesehatan ataupun sumber penghidupan, bahkan kesempatan bersuara.

    Namun, setelah 70 tahun merdeka, negeri ini dinakhodai oleh kebijakan ekonomi yang memelihara dan bahkan memperparah kesenjangan. Sekitar 52 persen dana pihak ketiga perbankan saat ini ada di Jakarta, sedangkan daerah seperti Sulawesi Barat hanya 0,08 persen dan Maluku Utara 0,13 persen (OJK, 2015). Bunga kredit untuk nasabah premium bisa dinego, tetapi untuk pedagang kecil mencekik. Kelompok pendapatan rendah, menengah, dan atas membayar pajak pertambahan nilai yang sama saat membeli barang. Korporasi besar diberi keringanan pajak, tetapi UKM diimbau taat pajak.

    Dalam Survei Barometer Sosial 2015 oleh INFID, responden menyebutkan ketimpangan penghasilan sebagai sumber ketimpangan terbesar. Hampir dua pertiga responden juga menyebutkan bahwa kesenjangan pendapatan antar-beberapa kelompok profesi ataupun jabatan sudah sangat tidak wajar.
    Kebijakan transformatif

    Kesenjangan di Indonesia tak hanya tampak dari kesenjangan pendapatan, tetapi juga dari konteks kesenjangan struktural. Kesenjangan struktural sering kali membandel dan sulit ditangani justru karena kesenjangan berbasis jender, warna kulit, disabilitas, suku, letak geografis, atau karakteristik kelompok lainnya tidak diakui sebagai hal yang signifikan atau tidak adil (Dani dan de Haan, 2008).

    Kebijakan sosial untuk mengurangi kesenjangan harus bertujuan, pertama, kesetaraan perlakuan; misalnya dalam layanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Kedua, kesetaraan dalam memperoleh kesempatan, tanpa berasumsi semua orang memiliki start yang sama: kelompok marjinal tidak memiliki modal awal sama sehingga butuh tindakan afirmatif. Ketiga, kesetaraan dalam capaian; dalam indikator-indikator, seperti harapan hidup, pendidikan, dan kesehatan.

    Saat ini, Indonesia belum dalam kondisi ideal. Dari modal awal kualitas hidup, misalnya, kesenjangan karena letak geografis mencolok. Jika rata-rata anak Jakarta bersekolah sampai kelas VI SD, rekannya di Papua hanya sampai kelas II. Jika seorang dewasa di Jakarta hidup sampai 70 tahun, rekannya di Maluku Utara hanya sampai 63 tahun. Hampir seluruh penduduk Jakarta melek huruf, tetapi hanya tiga perempat penduduk Papua bisa baca-tulis. Kematian bayi dan anak balita di Papua empat kali lipat daripada Riau. Saat anak-anak Jakarta bercita-cita mau jadi apa, anak-anak Papua belum tentu bertahan hidup melewati masa balita.

    Oleh karena itu, UNRISD (2010) menganjurkan kebijakan sosial harus bersifat transformatif sehingga, selain berupaya menciptakan pertumbuhan yang berkualitas dan berpusat pada penciptaan pekerjaan, juga mendobrak hambatan struktural. Artinya, hambatan karena jenis kelamin, suku, letak geografis, kelengkapan anggota tubuh untuk mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, jaminan sosial, dan sumber daya ekonomi harus ditiadakan. Kelompok yang selama ini ada di bawah marjin rata-rata populasi karena perbedaan karakteristik kelompok harus diakselerasi dengan berbagai kebijakan agar dapat memulai dari titik berangkat yang sama.

    Keberhasilan Sri Lanka, Nepal, dan Kamboja dalam menekan angka kematian ibu adalah contoh kebijakan sosial bersifat transformatif dapat dilakukan dan relatif terjangkau untuk negara dengan tingkat ekonomi yang rendah. Mereka berhasil menjawab kesenjangan struktural, seperti jender, suku, dan letak geografis, dengan kebijakan sosial yang tepat.

    Indonesia perlu mengambil haluan kebijakan sosial transformatif untuk tidak meneruskan jalur pembangunan yang senjang. Contoh di atas menunjukkan bahwa itu mungkin dilakukan. Dengan demikian, kita bergerak mencapai cita-cita pendiri bangsa: suatu equal society, masyarakat yang setara, bukan masyarakat yang terbelah seperti dalam film Elysium.


    VICTORIA FANGGIDAE, MANAJER RISET PADA PERKUMPULAN PRAKARSA, MITRA KERJA INFID DI JAKARTA
    Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Kebijakan Sosial yang Transformatif".

    http://print.kompas.com/baca/2015/08/12/Kebijakan-Sosial-yang-Transformatif

    Deteksi Ketimpangan dengan Barometer Sosial oleh: BAGUS TAKWIN




      Apakah 70 tahun Indonesia akan menjadi titik balik perubahan kebijakan atau hanya menjadi kilasan waktu belaka. Sudahkah ketimpangan menjadi pusat perhatian pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla?





      Pengadaan program sosial oleh pemerintah adalah upaya memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Ini tertuang dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Sejalan dengan yang termuat dalam Pasal 2 Ayat (1) Kovenan Hak Ekosob, Pemerintah Indonesia berjanji untuk mengambil langkah-langkah untuk mewujudkan secara penuh hak-hak tersebut.

      Selama lima tahun terakhir ini, Pemerintah Indonesia sudah berupaya mengatasi ketimpangan itu dengan mulai memberikan prioritas besar kepada kebijakan sosial. Bahkan, tahun 2013 Presiden dan DPR mengesahkan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang memerintahkan diberikannya jaminan kesehatan kepada semua warga mulai tahun 2014, serta tahun 2019 akan memiliki jaminan pensiun untuk semua warga.

      Itu patut dihargai, tetapi tampaknya pemerintah masih setengah hati. Kebijakan sosial yang dikeluarkan masih bersifat residual/selektif, bukan pendekatan universal. Bisa dilihat dari Program Keluarga Harapan (PKH) yang masih uji coba, dana Jamkesmas yang masih minim, dan sebagainya. Pendekatan itu perlu diubah agar program sosial menjadi lebih inklusif, untuk semua, memiliki nilai manfaat besar dan dilaksanakan secara imparsial, tidak diskriminatif.

      Untuk mempercepat terjadinya perubahan itu perlu keterlibatan pihak di luar pemerintah guna menemukan strategi dan siasat mengubah pendekatannya menjadi universal.

      Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah melakukan pemantauan pembangunan melalui penelitian dan kajian yang penting dan bermanfaat. Namun, pemantauan itu masih tampak seperti tinjauan yang bersifat lokal dan sepotong-sepotong sehingga lebih menyerupai mosaik yang tidak menggambarkan persoalan secara menyeluruh. Untuk melengkapinya diperlukan pemantauan terhadap pelaksanaan program sosial di seluruh provinsi di Indonesia.


      Pengukuran kinerja program sosial

      Pada akhir 2013, Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional untuk Pembangunan Indonesia (INFID) berinisiatif melakukan survei sosial, yang diberi nama Barometer Sosial 2014, dengan mengajak Lembaga Penelitian Psikologi Universitas Indonesia, Perkumpulan Prakarsa, dan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi.
      Survei sosial ini menjadi satu bentuk pemantauan pembangunan yang secara metodologis kuat serta diharapkan menjadi liputan media massa utama sehingga menjadi perhatian pengambil kebijakan. Sudah dua kali INFID melaksanakan survei Barometer Sosial. Setelah Barometer Sosial 2014, Barometer Sosial 2015 dilaksanakan oleh INFID bekerja sama dengan Yayasan Tifa, Oxfam Indonesia, dan Uni Eropa.

      Barometer Sosial adalah produk pemantauan dan audit sosial terhadap kinerja dan capaian pembangunan dengan menggunakan kebijakan-program sosial sebagai indikatornya. Menggunakan survei sebagai metodenya, Barometer Sosial mengukur kinerja dan capaian itu dari persepsi warga, sekaligus mendeteksi adanya ketimpangan sosial di masyarakat Indonesia.

      Barometer Sosial merupakan turunan dari konsep keadilan sosial yang diartikan sebagai perwujudan kesempatan dan peluang hidup yang setara. Keadilan sosial didasari oleh postulat: setiap individu harus diberdayakan untuk mengejar arah kehidupan yang ditentukannya sendiri, dan untuk terlibat dalam partisipasi sosial yang luas.

      Latar belakang sosial tertentu, seperti keanggotaan dalam kelompok tertentu atau ketidaksamaan titik awal, tidak diizinkan memengaruhi secara negatif rencana kehidupan pribadi.
      Prinsip keadilan sosial adalah akses, partisipasi, hak, harmoni, distribusi, diversitas, dan lingkungan yang mendukung. Dimensi keadilan sosial adalah (1) pencegahan kemiskinan, (2) akses ke pendidikan, (3) inklusi pasar tenaga kerja, (4) kohesi sosial dan nondiskriminasi, (5) kesehatan, dan (6) keadilan antargenerasi.
      Survei ini dilakukan untuk menggali penilaian warga terhadap program sosial yang diselenggarakan Pemerintah Indonesia. Evaluasi dari sudut pandang warga ini dilakukan untuk mengatasi dan memperkecil kemungkinan bias rezim dalam evaluasi dan laporan pemerintah.

      Lebih jauh lagi, ingin diketahui bagaimana dan sejauh mana program sosial pemerintah sampai dan tersaji kepada warga. Di situ digali pendapat warga mengenai aspek pelaksanaan program sosial yang menentukan keberhasilan program, seperti akses warga terhadap program, informasi mengenai program, tepat atau tidaknya sasaran program, jelas atau tidaknya pengaturannya, serta sulit atau mudahnya warga mendapatkan bantuan.


      Temuan Barometer Sosial

      Dari dua pengukuran yang sudah dilakukan, diketahui bahwa kebutuhan akan program sosial di Indonesia sangat tinggi. Warga sangat membutuhkan program sosial, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan dukungan usaha. Kebutuhan itu merata di hampir semua provinsi. Ini bisa jadi indikasi dari adanya deprivasi kebutuhan dasar pada warga. Menurut warga, jumlah bantuan yang dibutuhkan itu sangat sedikit.

      Indeks Barometer Sosial 2014 dan 2015 mengindikasikan bahwa pelaksanaan program yang ada belum optimal. Masih terjadi penyimpangan dari aturan, tidak tepat sasaran, prosesnya berbelit-belit sehingga merepotkan dan membebani warga yang berhak menerimanya. Informasinya pun tidak jelas. Pelayanan program dinilai tidak memuaskan dan lambat. Masih ada ketidaksesuaian barang/jasa/uang dengan kebutuhan. Analisis kebutuhan tidak dilakukan optimal sehingga alasan penentuan program sosial tidak jelas.

      Berdasarkan persepsi warga, sebagian besar kriteria keadilan distributif belum terpenuhi. Distribusi sumber daya dan kesejahteraan belum merata. Kriteria keadilan prosedural pun masih banyak yang tidak terpenuhi. Ini terlihat dari ketidakjelasan informasi, aturan, dan prosedur program. Konsep dan perencanaan program sosial yang tidak matang serta belum melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) juga menjadi indikasi dari belum terpenuhinya keadilan prosedural.

      Untuk menjaga dan mengembangkan kualitas program sosial pemerintah, diperlukan audit independen. Audit ini merupakan bagian dari sistem pengendalian kualitas pelaksanaan program, termasuk kontrol terhadap kualitas bantuan dan pelayanan, kemudahan akses terhadap program, efektivitas prosedur pemberian bantuan, manfaat dari bantuan, dan keberlanjutannya.

      Selain itu, perlu juga dikaji lebih jauh jenis bantuan apa yang diperlukan, apakah yang berorientasi pada penguatan orang atau pemberian barang, kepada komunitas, atau kepada orang per orang. Diperlukan standar pelaksanaan program sosial, mencakup prosedur, durasi, frekuensi, besaran bantuan, proses pemberian bantuan, target penerima bantuan, pelaksana program, serta aktivitas pemantauan dan evaluasi. Standar itu perlu diberlakukan di setiap kementerian terkait program sosial, provinsi, dan kabupaten/kota.
      Dengan cara ini, program sosial dapat berperan lebih signifikan terhadap pemenuhan hak-hak ekosob warga.

      BAGUS TAKWIN, DOSEN UI DAN MITRA KERJA INFID
      Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Deteksi Ketimpangan dengan Barometer Sosial".

      http://print.kompas.com/baca/2015/08/10/Deteksi-Ketimpangan-dengan-Barometer-Sosial

      Ketimpangan dan Pertumbuhan oleh: ARIEF ANSHORY YUSUF




        Indonesia tahun ini memasuki usia 70 tahun. Penting kiranya kita berpikir soal ketimpangan. Tahun 2002, dua ekonom Bank Dunia, David Dollar dan Aart Kraay, memublikasikan makalah yang cukup terkenal dengan judul ”Growth is Good for the Poor”.







        Dengan menggunakan data 92 negara, mereka menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan masyarakat 20 persen termiskin selalu naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah senjata ampuh untuk mengurangi kemiskinan. Benarkah?

        Coba kita lihat kota-kota yang paling dinamis di Indonesia. Daerah-daerah pusat aktivitas ekonomi yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Daerah-daerah ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dari tahun 2002 ke 2012 (sumber data: Badan Pusat Statistik dikompilasi Bank Dunia lewat IndoDapoer).

        Sebut saja Bandung yang tumbuh 7,9 persen per tahun, Medan (6,9 persen), Palembang (6,8 persen), dan Tangerang (6,2 persen). Pertumbuhan ekonomi kota-kota ini jauh di atas rata-rata nasional selama dasawarsa tersebut (5,8 persen).

        Tidak ”pro-poor”
        Apa yang terjadi dengan tingkat kemiskinannya? Meningkat! Bandung, misalnya, tingkat kemiskinannya meningkat dari 3,5 persen pada tahun 2002 menjadi 4,5 persen pada tahun 2012. Tingkat kemiskinan Medan bahkan meningkat hampir dua kali lipat ketika pertumbuhan ekonominya hampir 7 persen per tahun. Ternyata 25 persen daerah dengan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional justru mengalami peningkatan, bukan penurunan kemiskinan.

        Fakta di atas jelas sekali menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu diiringi dengan pengurangan kemiskinan. Meminjam istilah Dollar dan Kraay, growth is not always good for the poor.

        Bukan kebetulan daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi mengalami peningkatan kemiskinan, adalah daerah-daerah yang tingkat ketimpangannya juga tinggi. Jakarta, yang pertumbuhan ekonominya tinggi, adalah salah satu daerah dengan ketimpangan tertinggi di Indonesia. Jakarta juga menjadi salah satu daerah yang mengalami peningkatan kemiskinan selama 2002-2012.

        Tingkat ketimpangan Bandung, yang diukur dengan Koefisien Gini (ukuran standar ketimpangan), lebih tinggi daripada tingkat ketimpangan nasional. Tahun 2012, Koefisien Gini Kota Bandung adalah 0,422. Angka itu lebih tinggi daripada Koefisien Gini nasional, bahkan lebih tinggi dari tiga kota administrasi di Jakarta.
        Tingkat ketimpangan yang tinggi atau distribusi pendapatan yang tidak merata membuat kue pertumbuhan ekonomi tidak mengalir ke masyarakat bawah. Lebih parah kalau pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh kaum kaya (pro-rich). Lingkaran setan menjadi tak terhindari. Pertumbuhan tinggi yang seperti itu meningkatkan ketimpangan sekaligus meningkatkan kemiskinan.

        Ketimpangan yang bertambah membuat pertumbuhan ekonomi selanjutnya menjadi semakin tidak pro-poor. Lingkaran setannya semakin membesar seiring berjalannya waktu. Tidak terbayangkan bagaimana dampaknya terhadap tatanan sosial jika ini dibiarkan. Ketimpangan memang selayaknya menjadi masalah yang solusinya harus menjadi prioritas di Indonesia. Ketimpangan yang tinggi bukan hanya menjadi sumber dari berbagai penyakit sosial (kejahatan, konflik), tetapi juga tidak sehat untuk pertumbuhan ekonomi.
        Dua studi dari lembaga bereputasi (Dana Moneter Internasional serta Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) yang dirilis baru-baru ini membuktikan bahwa ketimpangan yang tinggi justru bisa membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Yang juga penting, seperti yang diilustrasikan di awal artikel ini, ketimpangan menghambat cita-cita bangsa ini untuk mengentaskan rakyat miskin.
        Indonesia memang layak untuk cemas dengan kondisi ketimpangannya. Selama satu dekade tahun 1990-an, Koefisien Gini Indonesia relatif mengalami penurunan. Namun, dari tahun 2001, Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam angka Koefisien Gini. Meningkat hampir 25 persen dari tahun 2000 ke tahun 2011, menjadi 0,41, atau tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah. Angka Koefisien Gini ini tidak mengalami kecenderungan menurun pada tahun-tahun selanjutnya.

        Struktur ekonomi dan peran negara

        Banyak yang berpendapat peningkatan ketimpangan di Indonesia adalah bagian dari fenomena global. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa di antara negara-negara berkembang, peningkatan ketimpangan di Indonesia selama satu dasawarsa terakhir paling tinggi.

        Pada periode yang sama, sebagian besar negara berkembang di dunia ini justru mengalami perbaikan dalam distribusi pendapatan. Dengan demikian, apa pun yang menjadi penyebab peningkatan ketimpangan ini, sumbernya adalah perekonomian kita sendiri. Salah satunya, sifat atau karakteristik dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang mengurangi ketimpangan harus memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat bawah. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi harus lebih mengoptimalkan faktor produksi yang kepemilikannya terkonsentrasi di bawah.

        Di sinilah struktur ekonomi, yaitu sektor-sektor apa saja yang menjadi penyokong pertumbuhan, menjadi penting. Selama periode ketimpangan meningkat, sektor manufaktur tumbuh relatif lambat. Padahal, sektor manufaktur cukup efektif dalam memberikan penghasilan layak untuk puluhan juta rakyat bawah. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi dekade terakhir sangat mengandalkan sektor jasa yang relatif padat modal atau sektor jasa informal yang walaupun tumbuh tak memberikan penghasilan memadai.

        Pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini, yang masih ditopang ekspor komoditas berbasis sumber daya alam, juga cenderung tidak pro-poor. Para pemilik modal dan lahan yang lebih diuntungkan dengan pola pertumbuhan seperti ini.

        Terakhir, peran negara harus lebih dioptimalkan. Ini karena negara adalah institusi satu-satunya yang mempunyai kekuatan cukup melalui anggaran untuk mengoreksi kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang mengurangi ketimpangan.

        Sistem perpajakan harus dibuat semakin progresif dan pengeluaran harus lebih ditargetkan untuk meratakan kesempatan (equality of opportunity), terutama terhadap akses pendidikan dan kesehatan untuk semua golongan masyarakat tanpa kecuali.

        ARIEF ANSHORY YUSUF, DIREKTUR CENTER FOR ECONOMICS AND DEVELOPMENT STUDIES UNIVERSITAS PADJADJARAN; MITRA KERJA INFID

        Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Ketimpangan dan Pertumbuhan".

        http://print.kompas.com/baca/2015/08/11/Ketimpangan-dan-Pertumbuhan