Wednesday 12 August 2015

Ketimpangan dan Pertumbuhan oleh: ARIEF ANSHORY YUSUF




    Indonesia tahun ini memasuki usia 70 tahun. Penting kiranya kita berpikir soal ketimpangan. Tahun 2002, dua ekonom Bank Dunia, David Dollar dan Aart Kraay, memublikasikan makalah yang cukup terkenal dengan judul ”Growth is Good for the Poor”.







    Dengan menggunakan data 92 negara, mereka menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan masyarakat 20 persen termiskin selalu naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah senjata ampuh untuk mengurangi kemiskinan. Benarkah?

    Coba kita lihat kota-kota yang paling dinamis di Indonesia. Daerah-daerah pusat aktivitas ekonomi yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Daerah-daerah ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dari tahun 2002 ke 2012 (sumber data: Badan Pusat Statistik dikompilasi Bank Dunia lewat IndoDapoer).

    Sebut saja Bandung yang tumbuh 7,9 persen per tahun, Medan (6,9 persen), Palembang (6,8 persen), dan Tangerang (6,2 persen). Pertumbuhan ekonomi kota-kota ini jauh di atas rata-rata nasional selama dasawarsa tersebut (5,8 persen).

    Tidak ”pro-poor”
    Apa yang terjadi dengan tingkat kemiskinannya? Meningkat! Bandung, misalnya, tingkat kemiskinannya meningkat dari 3,5 persen pada tahun 2002 menjadi 4,5 persen pada tahun 2012. Tingkat kemiskinan Medan bahkan meningkat hampir dua kali lipat ketika pertumbuhan ekonominya hampir 7 persen per tahun. Ternyata 25 persen daerah dengan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional justru mengalami peningkatan, bukan penurunan kemiskinan.

    Fakta di atas jelas sekali menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu diiringi dengan pengurangan kemiskinan. Meminjam istilah Dollar dan Kraay, growth is not always good for the poor.

    Bukan kebetulan daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi mengalami peningkatan kemiskinan, adalah daerah-daerah yang tingkat ketimpangannya juga tinggi. Jakarta, yang pertumbuhan ekonominya tinggi, adalah salah satu daerah dengan ketimpangan tertinggi di Indonesia. Jakarta juga menjadi salah satu daerah yang mengalami peningkatan kemiskinan selama 2002-2012.

    Tingkat ketimpangan Bandung, yang diukur dengan Koefisien Gini (ukuran standar ketimpangan), lebih tinggi daripada tingkat ketimpangan nasional. Tahun 2012, Koefisien Gini Kota Bandung adalah 0,422. Angka itu lebih tinggi daripada Koefisien Gini nasional, bahkan lebih tinggi dari tiga kota administrasi di Jakarta.
    Tingkat ketimpangan yang tinggi atau distribusi pendapatan yang tidak merata membuat kue pertumbuhan ekonomi tidak mengalir ke masyarakat bawah. Lebih parah kalau pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh kaum kaya (pro-rich). Lingkaran setan menjadi tak terhindari. Pertumbuhan tinggi yang seperti itu meningkatkan ketimpangan sekaligus meningkatkan kemiskinan.

    Ketimpangan yang bertambah membuat pertumbuhan ekonomi selanjutnya menjadi semakin tidak pro-poor. Lingkaran setannya semakin membesar seiring berjalannya waktu. Tidak terbayangkan bagaimana dampaknya terhadap tatanan sosial jika ini dibiarkan. Ketimpangan memang selayaknya menjadi masalah yang solusinya harus menjadi prioritas di Indonesia. Ketimpangan yang tinggi bukan hanya menjadi sumber dari berbagai penyakit sosial (kejahatan, konflik), tetapi juga tidak sehat untuk pertumbuhan ekonomi.
    Dua studi dari lembaga bereputasi (Dana Moneter Internasional serta Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) yang dirilis baru-baru ini membuktikan bahwa ketimpangan yang tinggi justru bisa membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Yang juga penting, seperti yang diilustrasikan di awal artikel ini, ketimpangan menghambat cita-cita bangsa ini untuk mengentaskan rakyat miskin.
    Indonesia memang layak untuk cemas dengan kondisi ketimpangannya. Selama satu dekade tahun 1990-an, Koefisien Gini Indonesia relatif mengalami penurunan. Namun, dari tahun 2001, Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam angka Koefisien Gini. Meningkat hampir 25 persen dari tahun 2000 ke tahun 2011, menjadi 0,41, atau tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah. Angka Koefisien Gini ini tidak mengalami kecenderungan menurun pada tahun-tahun selanjutnya.

    Struktur ekonomi dan peran negara

    Banyak yang berpendapat peningkatan ketimpangan di Indonesia adalah bagian dari fenomena global. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa di antara negara-negara berkembang, peningkatan ketimpangan di Indonesia selama satu dasawarsa terakhir paling tinggi.

    Pada periode yang sama, sebagian besar negara berkembang di dunia ini justru mengalami perbaikan dalam distribusi pendapatan. Dengan demikian, apa pun yang menjadi penyebab peningkatan ketimpangan ini, sumbernya adalah perekonomian kita sendiri. Salah satunya, sifat atau karakteristik dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang mengurangi ketimpangan harus memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat bawah. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi harus lebih mengoptimalkan faktor produksi yang kepemilikannya terkonsentrasi di bawah.

    Di sinilah struktur ekonomi, yaitu sektor-sektor apa saja yang menjadi penyokong pertumbuhan, menjadi penting. Selama periode ketimpangan meningkat, sektor manufaktur tumbuh relatif lambat. Padahal, sektor manufaktur cukup efektif dalam memberikan penghasilan layak untuk puluhan juta rakyat bawah. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi dekade terakhir sangat mengandalkan sektor jasa yang relatif padat modal atau sektor jasa informal yang walaupun tumbuh tak memberikan penghasilan memadai.

    Pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini, yang masih ditopang ekspor komoditas berbasis sumber daya alam, juga cenderung tidak pro-poor. Para pemilik modal dan lahan yang lebih diuntungkan dengan pola pertumbuhan seperti ini.

    Terakhir, peran negara harus lebih dioptimalkan. Ini karena negara adalah institusi satu-satunya yang mempunyai kekuatan cukup melalui anggaran untuk mengoreksi kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang mengurangi ketimpangan.

    Sistem perpajakan harus dibuat semakin progresif dan pengeluaran harus lebih ditargetkan untuk meratakan kesempatan (equality of opportunity), terutama terhadap akses pendidikan dan kesehatan untuk semua golongan masyarakat tanpa kecuali.

    ARIEF ANSHORY YUSUF, DIREKTUR CENTER FOR ECONOMICS AND DEVELOPMENT STUDIES UNIVERSITAS PADJADJARAN; MITRA KERJA INFID

    Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Ketimpangan dan Pertumbuhan".

    http://print.kompas.com/baca/2015/08/11/Ketimpangan-dan-Pertumbuhan

    No comments:

    Post a Comment