Monday 13 July 2015

Buku Referensi - HUMAN RIGHTS CITIES



Buku Referensi - HUMAN RIGHTS CITIES

Milenium baru disertai dengan kenyataan bahwa setengah dari populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan, dan para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2050 tingkat urbanisasi di dunia akan mencapai 65%. Perkotaan merupakan wilayah yang memiliki potensi kekayaan dan keberagaman ekonomi, lingkungan, politik dan budaya yang luas. Cara hidup masyarakat perkotaan mempengaruhi cara kita berhubungan dengan sesama manusia dan wilayah sekitar.

Namun, bertentangan dengan keberadaan potensi ini, model pembangunan yang diterapkan di sebagian besar negara-negara miskin ditandai dengan kecenderungan untuk melakukan konsentrasi pada pendapatan dan kekuasaan sehingga mengakibatkan terjadinya kemiskinan dan pengucilan, yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, mempercepat proses migrasi dan urbanisasi, segregasi sosial dan spasial, serta privatisasi kesejahteraan umum maupun ruang publik. Proses ini mendukung meluasnya proliferasi daerah perkotaan yang ditandai dengan kemiskinan, kondisi yang genting, dan kerentanan terhadap bencana alam.


Saat ini, kota menawarkan kondisi dan kesempatan yang masih jauh dari adil bagi penduduknya. Mayoritas penduduk perkotaan terampas atau terbatas dalam memperoleh manfaat dari karakteristik ekonomi, sosial, budaya, etnis, jenis kelamin atau usia mereka – untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak yang paling mendasar mereka. Kebijakan publik yang berkontribusi terhadap kondisi ini dengan mengabaikan peran penduduk dalam proses pembangunan kota dan kewarganegaraan, hanya merugikan kehidupan perkotaan. Konsekuensi serius yang harus dihadapi dari situasi ini mencakup pengusiran besar-besaran, segregasi, dan kerusakan yang disebabkan oleh koeksistensi sosial.

Konteks ini mengakibatkan timbulnya kesulitan yang dihadapi perkotaan yang masih tetap terfragmentasi dan belum mampu menghasilkan perubahan yang transendental dalam model pembangunan saat ini, meskipun betapa pentingnya hal tersebut secara sosial dan politik.

Untuk menghadapi kenyataan ini, dan perlunya membalikkan tren yang ada, organisasi dan gerakan perkotaan saling bekerjasama sejak Forum Sosial Dunia Pertama (2001) yang membahas dan menghadapi tantangan untuk membangun sebuah model masyarakat dan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan, berdasarkan prinsip-prinsip solidaritas, kebebasan, keadilan, martabat, dan
keadilan sosial, serta didirikan dengan menghormati budaya perkotaan yang berbeda dan keseimbangan antara perkotaan dan pedesaan. Sejak saat itu, kelompok terpadu dari gerakan rakyat, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi profesional, forum, serta jaringan masyarakat sipil nasional dan internasional, yang berkomitmen untuk melakukan perjuangan sosial bagi terciptanya kota yang
adil, demokratis, manusiawi dan berkelanjutan, telah bekerja untuk membangun Piagam Dunia tentang Hak atas Kota. Piagam ini bertujuan untuk menggalang komitmen dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat sipil, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, anggota parlemen, serta organisasi-organisasi internasional, sehingga semua orang dapat hidup bermartabat di kota.

Hak atas Kota akan memperluas fokus tradisional tentang peningkatan kualitas hidup masyarakat berdasarkan perumahan dan lingkungan yang ada selama ini, untuk mencakup kualitas hidup pada skala kota dan pedesaan di sekitarnya, sebagai mekanisme perlindungan penduduk yang hidup di wilayah perkotaan atau wilayah-wilayah dengan proses urbanisasi yang cepat. Hal ini mengindikasikan agar memulai cara baru untuk memajukan, menghargai, membela dan memenuhi
hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang dijamin dalam instrumen HAM regional dan internasional.

Di kota dan pedesaan di sekitarnya, korelasi antara hak-hak dan tugas yang diperlukan dapat dituntut sesuai dengan tanggung jawab dan kondisi sosial ekonomi penduduknya yang berbeda, sebagai bentuk promosi: distribusi yang merata atas manfaat dan tanggung jawab yang dihasilkan dari proses urbanisasi; pemenuhan fungsi sosial kota dan properti; distribusi pendapatan perkotaan; serta demokratisasi akses terhadap lahan tanah dan layanan publik bagi semua warga negara, terutama
mereka yang kurang memiliki sumberdaya ekonomi dan berada dalam situasi yang rentan.

Sebagai asal-usul dan arti sosial, Piagam Dunia tentang Hak atas Kota sebenarnya merupakan instrumen yang berorientasi untuk memperkuat proses perkotaan, pembenaran, dan perjuangan. Kami menyebut Piagam yang disusun tersebut sebagai platform yang mampu menghubungkan upaya dari pihak semua aktor yang terkait – publik, sosial dan pribadi – yang tergerak untuk mengalokasikan validitas dan efektivitas secara penuh terhadap hak asasi manusia yang baru ini melalui upaya
pemajuan, pengakuan hukum, implementasi, regulasi, dan penempatan yang tepat.

selengkapnya format PDF

No comments:

Post a Comment