Monday 13 July 2015

Barometer Sosial 2015

Barometer Sosial merupakan metode pemantauan serta melakukan audit sosial terhadap
kinerja dan pencapaian hasil pembangunan dengan menggunakan kebijakan program sosial
sebagai indikatornya. Ini kali kedua Barometer Sosial diadakan. Sebelumnya Barometer
Sosial 2014 juga dilakukan dengan mengukur kinerja dan pencapaian hasil pembangunan
melalui program sosial tahun 2013. Saat ini INFID juga melakukan Barometer Sosial 2015
dengan mengukur kinerja pencapaian hasil pembangunan tahun 2014. Kedua pengukuran
itu dilakukan dengan metode survei menggunakan kuesioner. Barometer Sosial 2015
melibatkan sebanyak 2500 responden dari 34 provinsi di Indonesia.

Selain pengukuran Barometer Sosial, juga dilakukan pengukuran terhadap persepsi warga
mengenai sumber, faktor dan cara mengatasi ketimpangan sosial. Baik Barometer Sosial
maupun Ketimpangan Sosial merupakan indikator dari keadilan sosial. Kedua indikator
tersebut berangkat dari konsep dasar bahwa keadilan sosial harus diperjuangkan. Barometer
Sosial menjadi indikator dari seberapa jauh negara mengupayakan keadilan sosial melalui
bantuan-bantuan sosial, juga dapat dipahami sebagai upaya untuk mengetahui seberapa
jauh pemerintah mengurangi ketimpangan sosial. Di sisi lain, pengukuran Ketimpangan
Sosial dapat memberikan pemahaman kepada warga mengenai makna ketimpangan sosial,
di ranah mana terjadinya, faktor apa yang berperan, serta cara untuk mengatasinya.


Secara keseluruhan, Indeks Barometer Sosial 2015 yang diperoleh adalah 5,56 (skala
1-10) dan masuk dalam kategori “Agak Mengupayakan Pencapaian Keadilan Sosial”.
Indeks saat ini lebih tinggi sedikit dari Indeks Barometer Sosial 2014 yang mencapai skor
5,3 meskipun kategorinya tidak berbeda. Indeks Barometer Sosial 2015 mengindikasikan
bahwa Pemerintah Indonesia pada 2014 sudah menjalankan beberapa program sosial tetapi
menurut penilaian warga pelaksanaan program tersebut belum optimal karena masih ada
ketidaksesuaian dengan kebutuhan warga, sasaran penerima bantuan yang belum tepat,
prosedur pelaksanaan yang sulit dan berbelit-belit, serta ketidaksesuaian barang/jasa/
uang dengan kebutuhan dan pelaksana yang menyimpang dari aturan. Wargapun menilai
program sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia masih sulit diperoleh,
begitu juga informasinya tidak jelas.


Pada survei Barometer Sosial 2015 ditemukan bahwa kebutuhan akan program sosial di
Indonesia masih tergolong sangat tinggi. Bahkan kebutuhannya meningkat dibandingkan
tahun sebelumnya, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan bantuan
usaha. Masih ada deprivasi kebutuhan dasar dan kurangnya pemenuhan hak ekonomi,
sosial dan budaya (Ekosob) pada warga Indonesia. Program sosial yang diselenggarakan di Indonesia belum didasari dari hasil analisis terhadap kebutuhan program sosial. Alasan
pemilihan program-program itupun tidak jelas.

Melalui survei ditemukan juga bahwa kebanyakan warga menilai program sosial yang
diselenggarakan pemerintah bermanfaat. Namun warga menilai bahwa banyak orang
membutuhkan bantuan melalui program sosial akan tetapi tidak bisa mendapatkannya,
hal ini akibat tidak meratanya pemberian bantuan pada yang membutuhkan. Kebanyakan
warga juga menilai barang/uang/jasa yang diterima dari program sosial tidak sesuai dengan
semestinya serta juga belum dapat memenuhi kebutuhan. Kesesuaiannya masih di bawah
50%. Selain itu, warga menilai prosesnya lambat dan sulit, serta pada praktiknya membebani
penerima bantuan mulai dari pendaftaran hingga saat menerima bantuan. Ditambah lagi,
pelayanannya tidak memuaskan.

Berdasarkan persepsi warga, ada indikasi bahwa sebagian besar kriteria keadilan
distribusi belum terpenuhi. Program sosial yang diselenggarakan pemerintah memang
dinilai bermanfaat, tetapi belum mencapai target pada orang yang membutuhkan dan
belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian program sosial belum
dapat memenuhi kebutuhan. Akses terhadap bantuan tidak merata, proses sulit, panjang,
berbelit-belit, membebani, dan pelayanan tidak memuaskan juga mengindikasi masih belum
terpenuhinya kriteria keadilan distribusi.

Warga menilai informasi mengenai keberadaan program sosial tidak jelas. Mereka
menilai pelaksanaan program sosial tidak sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan.
Pelaksanaannya banyak menyimpang dari prosedur yang semestinya dijalankan. Ini
mengindikasikan belum terpenuhinya kriteria keadilan prosedural. Selain aturan program
sosial tidak jelas dan ada penyimpangan dari aturan, konsep dan perencanaan, jadinya
program sosial pun tidak matang. Penentuan program sosial belum melibatkan semua
stakeholder serta banyak warga tidak terpapar informasi mengenai keberadaan program
sosial.

Instansi pemerintah dirasakan sudah baik atau sangat baik dalam menyelenggarakan program
sosial, juga kualitas programnya oleh kebanyakan warga, kecuali yang diselenggarakan oleh
Kementerian Pertanian. Secara umum program sosial yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah dinilai bermanfaat oleh kebanyakan warga.

Dari pengukuran survei terhadap persepsi warga mengenai ketimpangan diperoleh
hasil bahwa hal yang paling berperan menimbulkan ketimpangan sosial adalah
perbedaan penghasilan, perbedaan kepemilikan harta benda, perbedaan kesejahteraan,
perbedaan tingkat pendidikan dan kesempatan pekerjaan. Warga merasakan masih ada
ketimpangan dalam berbagai ranah yang berlangsung di sekitar mereka disertai dengan perlakuan diskriminatif. Dan perlakuan diskriminatif itu memberikan sumbangan terhadap
berlangsungnya ketimpangan sosial secara keseluruhan.

Indeks Ketimpangan Sosial 2015 adalah 5,06. Artinya, seluruh responden menilai ada
ketimpangan di lima (5) dari 10 ranah sumber ketimpangan. Secara keseluruhan, 80%
responden (total sampel 2500) merasakan adanya ketimpangan setidaknya pada satu ranah.
Bisa dikatakan, delapan (8) dari 10 warga Indonesia merasakan adanya ketimpangan.
Warga merasakan penyebab ketimpangan sosial yang utama adalah pendidikan yang tidak
merata, kesempatan kerja tidak merata, pemerintah tidak bekerja dengan baik, dan hukum
yang tidak berfungsi dengan baik. Menurut warga yang harus bertanggungjawab mengatasi
ketimpangan sosial adalah pemerintah, setiap individu, kepala keluarga, pemilik perusahaan,
partai politik, orang kaya dan lembaga keuangan internasional. Sedangkan menurut warga
cara untuk mengatasi ketimpangan adalah pemberantasan korupsi, pemerintah bekerja
dengan baik, pemerataan pendidikan, pemerataan kesempatan kerja, penegakan hukum,
jaminan keamanan bagi warga, dan pemerataan penghasilan.

Dari survei pengukuran Barometer Sosial 2015 dan Ketimpangan Sosial 2015, dapat
disimpulkan bahwa keadilan sosial sebagai perwujudan kesempatan dan peluang hidup
yang setara belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah pusat, kementerian, pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota. Perlunya pemberdayaan setiap individu di Indonesia untuk
mengejar arah kehidupannya ditentukan oleh dirinya sendiri, sedangkan untuk terlibat
dalam partisipasi sosial yang luas belum berlangsung merata. Masih banyak pengaruh latar
belakang sosial dan ketidaksamaan terhadap kesempatan dalam mengejar arah kehidupan
dan kesejahteraan warga Indonesia.

Dapat disimpulkan juga bahwa penentuan program sosial yang diselenggarakan oleh
pemerintah nasional, kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota belum berdasarkan analisis
kebutuhan yang memadai. Berdasarkan hasil pengukuran ini, tampak belum ada konsep,
standarisasi, dan prosedur yang jelas dari program sosial yang dijalankan Pemerintah
Indonesia.

Untuk memperbaiki keadaan ini perlu dilakukan audit independen di luar pemerintahan
untuk mengevaluasi dan menghasilkan usulan perbaikan pelaksanaan program sosial.
Audit ini merupakan bagian dari sistem pengontrolan kualitas pelaksanaan program sosial,
termasuk di dalamnya kontrol terhadap kualitas bantuan, kualitas pelayanan, efektivitas
dan efisiensi prosedur pemberian bantuan. Selain itu warga dipermudah dalam mengakses
program sosial, serta memberi efek dan manfaat dari bantuan disertai keberlanjutannya.
Sistem kontrol itu harus menjangkau setiap kementerian terkait terhadap program sosial baik
di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.

Buku dalam format PDF

No comments:

Post a Comment